Minggu, 27 Maret 2016

Kasus Pelanggaran HAKI

Bila "Sang Arjuna" Dewa 19 Tersandung Hak Cipta
Judul lagu "Arjuna Mencari Cinta" dari album Cintailah Cinta milik Dewa19 dianggap telah menjiplak karya yang diciptakan oleh Yudhistira Anm Massardi. Dewa 19 bersedia mengganti judul lagunya. Jika tidak ada kesepakatan dalam perundingan, pihak Dewa 19 siap menempuh jalur pengadilan.
            Sebelumnya, "Arjuna Mencari Cinta" pernah disajikan dalam bentuk novel dan tayangan sinetron. Karena itu, Yudhistira kaget ketika Dewa 19 menjiplak judul novelnya untuk judul lagu andalan pada album terbaru Dewa 19.
Jiplak-menjiplak kata mungkin sudah biasa, apalagi dalam pembuatan sebuah lagu. Tidak sedikit lagu yang diciptakan antara satu dengan yang lainnya ada kemiripan, baik dalam kata maupun kalimat yang digunakan dalam setiap baitnya.
Dalam tanggapan yang disampaikan oleh Bawazier, kuasa hukum Yudistira, kliennya keberatan atas penggunaan/pengutipan judul karya ciptanya pada salah satu lagu dalam album "Cintailah Cinta". Keberatan tersebut disampaikan oleh Yudhistira dalam surat pembaca di majalah GATRA No 19 tahun VIII tanggal 30 Maret 2002. 
            Ahmad Dhani selaku motor dari grup band Dewa19, dalam beberapa wawancara,  mengakui bahwa lagu "Arjuna Mencari Cinta" terinspirasi oleh "Mencari Cinta" yang merupakan pengalihwujudan karya cipta buku "Arjuna Mencari Cinta" yang pernah diciptakan oleh Yudhistira.
Sementara itu dalam keberatannya, kuasa hukum Yudistira melihat bahwa Dewa19 tetap melakukan promosi dan penjualan album "Cintailah Cinta" dan terus memasarkan sejak 5 April 2002.
            Sumber hukumonline mengemukakan bahwa kasus ini mencuat ke permukaan dilandasi oleh alasan bisnis semata. Dari sisi pemasaran misalnya, kasus ini akan membuat orang bertanya-tanya dan akhirnya akan "memastikan" alias membeli, apakah benar ada kesamaan dari judul lagu dan karya cipta dari Yudhistira.
Paul Sukran, kuasa hukum dari Ahmad Dhani, mengatakan bahwa masing-masing pihak masih memiliki penafsiran yang berbeda satu sama lain. Sukran mencermati, dalam undang-undang memang tidak dijelaskan judul bisa dipermasalahkan atau dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.
            Menyangkut lirik dalam lagu "Arjuna Mencari Cinta", Sukran menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Ahmad Dhani bukan pengalihwujudan (pre-existing) dari novel atau film yang pernah ditayangkan. "Cuma Kebetulan judul dari lagu tersebut sama dengan judul novel dan film tersebut," tambah Sukran.
            Kuasa hukum dari Dewa19 mengatakan, pihaknya  tidak ingin masalah ini terus berlanjut. Saat ini, antara Dewa19 dengan Yudhistira dalam proses penyamaan persepsi. "Jika pihak Mas Yudhis masih bersikeras menyatakan terjadi pelanggaran hak cipta meskipun hanya judul, maka kami bersedia mengubah judul," kata Sukran.
Hal ini dilakukan untuk menghindari konflik, menambah polemik, dan perbedaan persepsi dalam masyarakat. Terkait dengan kerugian yang diderita oleh Yudhistira, Sukran mengatakan bahwa perlu dijelaskan lebih lanjut, kerugian apa yang dimaksud oleh yang bersangkutan.
Jika kerugian moral yang diderita oleh yang bersangkutan karena penggunaan judul lagu "Arjuna Mencari Cinta" tersebut, maka penggantian kerugian cukup dengan mengganti judul lagu tersebut. Namun bila kerugian yang dimaksud terkait dengan hak ekonomis dari judul lagu tersebut, maka masih panjang perdebatannya.
            Sukran menambahkan, perlu diperjelas sejauh mana hak ekonomi dari Yudhistira ini dilanggar. "Memangnya yang bersangkutan pernah mengedarkan sebuah lagu dengan judul yang sama. Saya berharap, jangan sampai ada persepsi dalam masyarakat terkait dengan kasus ini," kata Sukran. 
Ketika ditanya lebih jauh apa dan bagaimana proses penyelesaian kasus ini, Sukran mengupayakan perundingan untuk menyelesaian kasus ini. Jika dalam perundingan tersebut tidak ditemui kata sepakat, Sukran mengatakan bahwa pihaknya siap menempuh jalur pengadilan," tegas Sukran.
            Dalam somasi yang dilayangkan pada pihak Dewa19, Malika Bawazier mengatakan bahwa pelanggaran hak cipta dapat berupa perbuatan mengambil, mengutip, merekam, memperbanyak, dan mengumumkan ciptaan orang lain, baik sebagian atau seluruhnya tanpa seizin dari si pencipta atau pemegang hak cipta.
Bawazier menambahkan, pelanggaran yang dilakukan oleh Ahmad Dhani adalah mengutip ciptaan orang lain tanpa adanya persetujuan dari Yudhistira. Kemudian, yang bersangkutan menggunakan kutipan tersebut tanpa menyebutkan sumbernya. "Bahkan dalam beberapa wawancara dengan radio maupun media, Ahmad Dhani menyatakan tidak ada masalah jika tindakannya disebut plagiat," kata Bawazier.
            Pada album Dewa19 yang berjudul "Cintailah Cinta", Dewa19 telah mengutip kalimat yang diciptakan oleh John Lennon dan Albert Einstein dan dalam album tersebut. Dewa19 menuliskan nama kedua orang tersebut. "Sedang dalam kasus ini, Dewa19 sama sekali tidak mencantumkan nama dari klien kami," cetus Bawazier.
Yudhistira Anm Massardi diharapkan bisa memberikan keterangan langsung mengenai alasan menggugat Dewa 19. Namun ketika dihubungi hukumonline, Yudhistira enggan berkomentar dan menyerahkan persaalan ini pada Bawazier selaku kuasa hukumnya.
            Terkait dengan persoalan penggantian judul lagu, Sukran selaku kuasa hukum dari Dewa19 mengatakan, Ahmad Dhani atau Dewa19 akan segera melakukan klarifikasi judul lagu yang dimaksud melalui surat kabar ibukota. Klarifikasi dalam surat kabar tersebut tersebut nantinya berisi penggantian judul lagu "Arjuna Mencari Cinta" menjadi "Arjuna".
Diharapkan dengan penggantian nama tersebut, hak moral dari yang bersangkutan bisa dikembalikan. Namun bukankah penggantian nama tersebut secara implisit, Dewa19 telah mengakui tindakan penjiplakan judul lagu dari karya yang pernah dipublikasikan oleh Yudhistira Massardi beberapa waktu lalu







Tanggapan…
          Pelanggaran hak cipta lagu Dewa 19 yang berjudul Arjuna Mencari Cinta oleh Yudhistira ANM Massardi, Dhani dilaporkan telah melakukan pelanggaran hak cipta. Dhani dianggap melanggar hak cipta novel berjudul Arjuna Mencari Cinta dalam salah satu lagunya yang berjudul sama di Album Cintailah Aku, namun belakangan diganti menjadi Arjuna.
          Laporan ini dilakukan dengan dasar UU No 12/1997 pasal 1, juncto UU No 7/1987, juncto UU No 6/1982 tentang hak cipta. Menurut Yudhistira ANM Massardi saat itu, Dhani dianggap telah melanggar hak moral, hak ekonomi, dan hak cipta atas novelnya yang diterbitkan pada tahun 1977 oleh Penerbit PT Cypress.
          Akan tetapi, Dhani selaku pembuat lagu tersebut mengakui adanya penjiplakan atas judul lagu dari judul novel yang dibuat oleh Yudhistira. Hal ini merupakan sikap yang menunjukkan etika yang baik dari Dhani untuk mengubah judul lagu tersebut serta mengakui adanya plagiarisme serta pihak Dhani pun ingin berdamai dengan pihak Yudhistira. Jika persoalan ini tidak bisa diselesaikan dengan cara berdamai, pihak Dhani pun siap untuk mengikuti jalur hukum sebagaimana bentuk rasa tanggung jawabnya terhadap plagiat yang telah ia lakukan.


Sumber :

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5370/bila-sang-arjuna-dewa-19-tersandung-hak-cipta

HAKI (Hak Cipta)

HAKI ( HAK CIPTA)

            Hak cipta (lambang internasional: ©) adalah hak eksklusif (yang diberikan oleh pemerintah) untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan “hak untuk menyalin suatu ciptaan”. Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau “ciptaan”. Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri.
            Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Sebagai contoh, hak cipta yang berkaitan dengan tokoh kartun Miki Tikus melarang pihak yang tidak berhak menyebarkan salinan kartun tersebut atau menciptakan karya yang meniru tokoh tikus tertentu ciptaan Walt Disney tersebut, namun tidak melarang penciptaan atau karya seni lain mengenai tokoh tikus secara umum.
            Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah “hak eksklusif bagi [p]encipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak [c]iptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” (pasal 1 butir 1).

HAK-HAK YANG TERCAKUP DALAM HAK CIPTA
A. Hak eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
·         Membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
·         Mengimpor dan mengekspor ciptaan,
·         Menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
·         Menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
·         Menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.

            Yang dimaksud dengan “hak eksklusif” dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk “kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun”[2].
Selain itu, dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur pula “hak terkait”, yang berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).

B. Hak ekonomi dan hak moral
            Banyak negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan TRIPs WTO (yang secara inter alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan Konvensi Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan tersebut.
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep “hak ekonomi” dan “hak moral”. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan[2]. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak Cipta.

C. Ciptaan yang dapat dilindungi
            Ciptaan yang dilindungi hak cipta di Indonesia dapat mencakup misalnya buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, ceramah, kuliah, pidato, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, pantomim, seni rupa dalam segala bentuk (seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan), arsitektur, peta, seni batik (dan karya tradisional lainnya seperti seni songket dan seni ikat), fotografi, sinematografi, dan tidak termasuk desain industri (yang dilindungi sebagai kekayaan intelektual tersendiri). Ciptaan hasil pengalihwujudan seperti terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai (misalnya buku yang berisi kumpulan karya tulis, himpunan lagu yang direkam dalam satu media, serta komposisi berbagai karya tari pilihan), dan database dilindungi sebagai ciptaan tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan asli (UU 19/2002 pasal 12).

D. Jangka waktu perlindungan hak cipta
            Hak cipta berlaku dalam jangka waktu berbeda-beda dalam yurisdiksi yang berbeda untuk jenis ciptaan yang berbeda. Masa berlaku tersebut juga dapat bergantung pada apakah ciptaan tersebut diterbitkan atau tidak diterbitkan. Di Amerika Serikat misalnya, masa berlaku hak cipta semua buku dan ciptaan lain yang diterbitkan sebelum tahun 1923 telah kadaluwarsa. Di kebanyakan negara di dunia, jangka waktu berlakunya hak cipta biasanya sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun, atau sepanjang hidup penciptanya ditambah 70 tahun. Secara umum, hak cipta tepat mulai habis masa berlakunya pada akhir tahun bersangkutan, dan bukan pada tanggal meninggalnya pencipta.
Di Indonesia, jangka waktu perlindungan hak cipta secara umum adalah sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun atau 50 tahun setelah pertama kali diumumkan atau dipublikasikan atau dibuat, kecuali 20 tahun setelah pertama kali disiarkan untuk karya siaran, atau tanpa batas waktu untuk hak moral pencantuman nama pencipta pada ciptaan dan untuk hak cipta yang dipegang oleh Negara atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama (UU 19/2002 bab III dan pasal 50).


E. Pendaftaran hak cipta di Indonesia
            Di Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran[2]. Namun demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan[1]. Sesuai yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs web Ditjen HKI. “Daftar Umum Ciptaan” yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dan dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.

Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta
http://www.aup.unair.ac.id/hak-cipta/
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54192d63ee29a/uu-hak-cipta-baru
http://www.wipo.int/wipolex/en/text.jsp?file_id=226829

HAKI (Hak Cipta)

HAKI ( HAK CIPTA)

            Hak cipta (lambang internasional: ©) adalah hak eksklusif (yang diberikan oleh pemerintah) untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan “hak untuk menyalin suatu ciptaan”. Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau “ciptaan”. Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri.
            Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Sebagai contoh, hak cipta yang berkaitan dengan tokoh kartun Miki Tikus melarang pihak yang tidak berhak menyebarkan salinan kartun tersebut atau menciptakan karya yang meniru tokoh tikus tertentu ciptaan Walt Disney tersebut, namun tidak melarang penciptaan atau karya seni lain mengenai tokoh tikus secara umum.
            Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah “hak eksklusif bagi [p]encipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak [c]iptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” (pasal 1 butir 1).

HAK-HAK YANG TERCAKUP DALAM HAK CIPTA
A. Hak eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
·         Membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
·         Mengimpor dan mengekspor ciptaan,
·         Menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
·         Menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
·         Menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.

            Yang dimaksud dengan “hak eksklusif” dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk “kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun”[2].
Selain itu, dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur pula “hak terkait”, yang berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).

B. Hak ekonomi dan hak moral
            Banyak negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan TRIPs WTO (yang secara inter alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan Konvensi Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan tersebut.
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep “hak ekonomi” dan “hak moral”. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan[2]. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak Cipta.

C. Ciptaan yang dapat dilindungi
            Ciptaan yang dilindungi hak cipta di Indonesia dapat mencakup misalnya buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, ceramah, kuliah, pidato, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, pantomim, seni rupa dalam segala bentuk (seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan), arsitektur, peta, seni batik (dan karya tradisional lainnya seperti seni songket dan seni ikat), fotografi, sinematografi, dan tidak termasuk desain industri (yang dilindungi sebagai kekayaan intelektual tersendiri). Ciptaan hasil pengalihwujudan seperti terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai (misalnya buku yang berisi kumpulan karya tulis, himpunan lagu yang direkam dalam satu media, serta komposisi berbagai karya tari pilihan), dan database dilindungi sebagai ciptaan tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan asli (UU 19/2002 pasal 12).

D. Jangka waktu perlindungan hak cipta
            Hak cipta berlaku dalam jangka waktu berbeda-beda dalam yurisdiksi yang berbeda untuk jenis ciptaan yang berbeda. Masa berlaku tersebut juga dapat bergantung pada apakah ciptaan tersebut diterbitkan atau tidak diterbitkan. Di Amerika Serikat misalnya, masa berlaku hak cipta semua buku dan ciptaan lain yang diterbitkan sebelum tahun 1923 telah kadaluwarsa. Di kebanyakan negara di dunia, jangka waktu berlakunya hak cipta biasanya sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun, atau sepanjang hidup penciptanya ditambah 70 tahun. Secara umum, hak cipta tepat mulai habis masa berlakunya pada akhir tahun bersangkutan, dan bukan pada tanggal meninggalnya pencipta.
Di Indonesia, jangka waktu perlindungan hak cipta secara umum adalah sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun atau 50 tahun setelah pertama kali diumumkan atau dipublikasikan atau dibuat, kecuali 20 tahun setelah pertama kali disiarkan untuk karya siaran, atau tanpa batas waktu untuk hak moral pencantuman nama pencipta pada ciptaan dan untuk hak cipta yang dipegang oleh Negara atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama (UU 19/2002 bab III dan pasal 50).


E. Pendaftaran hak cipta di Indonesia
            Di Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran[2]. Namun demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan[1]. Sesuai yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs web Ditjen HKI. “Daftar Umum Ciptaan” yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dan dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.